Hidayatullah.com–Malta gagal menjawab permintaan Libya untuk mengembalikan dua pesawat tempur yang mendarat di Bandara Luqa oleh pilot Libya yang membelot. Sebelumnya diberitakan , pilot dua pesawat itu menolak untuk mengebom demonstran.
Dua pesawat tempur jenis Mirage F1 buatan Prancis itu saat ini dalam pengawalan bersenjata di bandara di Kota Luqa, Malta. Kedua jet tempur berkursi tunggal itu mendarat di Malta pada Senin, 21 Februari lalu.
Pihak keamanan Libya dilaporkan telah membunuh 1000 orang selama terjadinya unjuk rasa pro demokrasi melawan pemerintahan dari penguasa berumur 68 tahun tersebut.
Pilot yang mengklaim sebagai kolonel tinggi dari Okba bin Nafe dekat Tripoli, meminta suaka politik, dan pemerintah sedang mempertimbangkan permintaan mereka, ujar juru bicara Departemen Luar Negeri Malta, Kamis.
Kedua pilot mengatakan mereka membelot setelah menerima perintah untuk mengebom pengunjuk rasa di kubu oposisi di Benghazi, kota terbesar kedua Libya dan tempat terjadinya revolusi sejak 16 Februari, lapor Times of Malta.
Awal minggu ini pilot pesawat tempur lain menolak perintah mengebom Benghazi dan meninggalkan pesawatnya setelah ia dan co-pilotnya dikeluarkan, ujar laporan tersebut.
Malta merupakan negara Eropa terdekat ke Libya, yang hanya dipisahkan oleh jarak sekitar 350 kilometer (210 mil).
Sementara itu, dua pesawat Irlandia Air Corp yang dikerahkan untuk mengevakuasi warga Irlandia dari peristiwa revolusi Libya telah mendarat di bandara Valleta di Malta setelah di paksa keluar Tripoli tanpa penumpang satupun.
Sebagaimana dilaporkan koresponden hidayatullah.com dari Tripoli, Benghazi adalah ibukota Libya sebelum Qadhafi berkuasa. Di kota itulah pusat pengikut raja Idris yang dulu dikudeta Qadhafi tahun 1969. Sudah sejak lama sebagian penduduk Benghazi ingin memisahkan diri dari pemerintahan Qadhafi. Momen ‘tsunami’ politik di Timur Tengah, rupanya dimanfaatkan oleh para oposan ini. *