Judul Buku : Syaikh Yusuf al Qaradhawi, Sebuah Otobiografi, Sang Pelita Umat
Penulis : Syaikh Yusuf al Qaradhawi
Halaman : 746 hal
Tahun terbit : Februari 2023
Penerbit : Al Kautsar
Hidayatullah.com — Tak terbesit dalam benak Syaikh Yusuf al Qaradhawi untuk menuliskan autobiografi dan perjalanan hidupnya. Karena disebabkan beberapa faktor diantaranya; Pertama, autobiografi itu menceritakan diri sendiri. Dan biasanya mengandung upaya pembersihan diri sendiri, menyanjung diri dan menghiasi diri. Hal ini dikhawatirkan sebagaimana disitir dalam Al Qur’an Surat An Najm ayat 32, “Janganlah sekali-kali kalian menganggap diri kalian bersih (dari kesalahan), karena Dia Maha Mengetahui terhadap siapa yang paling takwa.”
Kedua, ia menyatakan bahwa bukanlah salah seorang tokoh politik yang selama hidupnya selalu disanjung masyarakat yang bisa berakibat menimbulkan marabahaya. Ketiga, peristiwa kehidupan yang dijalani adalah sebuah rutinitas dan agenda harian biasa. Dan kami, kata Yusuf al Qaradhawi, menyadari tidak seperti Imam Abu Hasan An Nadwi yang selalu mencatat seluruh perjalanan hidupnya yang kemudian dikumpulkan dan ditulisnya dalam satu buku.
Sebagaimana umumnya buku biografi, pastilah memaparkan perjalanan kisah hidupnya. Dan tahapan-tahapan kehidupannya sedari masa kecil hingga perjuangannya bersama kawan dan umat serta lawan pemikiran, dakwah, dan jihadnya. Seperti diakui penempaan awal ketika masih menjadi pelajar di madrasah ibtidaiyah. Ia sangat senang mendengarkan ceramah Hasan al Banna secara langsung. Terkagun-kagum, dan menyelami semua yang tersampaikan dari Hasan al Banna.
Satu diantaranya yang masih segar dalam ingatkannya dan terbawa hingga di masa tuanya adalah tatkala Hasan al Banna menyampaikan ceramah Isra’ Mi’raj di kota Thanta. Beliau mengingatkan persoalan Masjid al Aqsha yang merupakan tempat tujuan akhir (muntaha) Isra dan tempat awal perjalanan Rasuullah ke langit (mi’raj). Menurut beliau, salah satu kewajiban yang diemban umat Islam adalah bagaimana berupaya melakukan sebuah perlawanan terhadap kekejaman yang dilakukan kaum Zionis.
Di kesempatan itu juga Hasan al Banna mengemukakan problematika umat dan kesatuan umat Islam. Kedua mengengemukakan soal kaukus negara Arab (al Wathan al Arabi). Dinyatakan olh Hasan al Banna bahwa perbatasannya Teluk Persia sampai Samudra Atlantik (saat itu belum dikenal istilah teluk Arab). Dari penjelasannya itu yang dimaksud negara-negara Islam adalah dari Samudra Atlantik sampai Atlantik lagi. Yaitu dari Samudra Pasifk hingga Samudra Atlantik. Inilah pertama kali Yusuf al Qaradhawi dengar batas wilayah dunia Islam.
Oleh sebab itu, pada kesempatan ini beliau berbicara panjang mengenai Indonesia dan perlunya segera membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. Di samping membicarakan dan membebaskan Tunisia, Aljazair dan Maroko yang merupakan negara Arab yang paling Barat.
Getaran perjuangannya terus bergejolak. Ketika di Tsanawiyah, persoalan Palestina sudah menjadi pemantik jiwa dan menarik perhatian Yusuf al Qaradhawi. Karena tidak banyak kalangan nasionalis memperhatikan persoalan Palestina dan tidak memperdulikan Palestina.
Bahkan yang mengherankan baginya dari sikap politik Zionis dan kolonialis yang diterima oleh pemimpin Arab adalah upaya mereka untuk mengasingkan persoalan Palestina. Dan mereka sama sekali tak memperdulikan untuk membela harga diri bangsa Palestina. Jadinya sikap apatis itu menghinggapi masyarakat Arab dan dunia Islam.
Mengawali merangkah sebagai sosok seorang tokoh, Yusuf al Qaradhawi juga sempat menikmati kehidupan di penjara militer. Penjara di Mesir dibangun oleh Inggris selama pendudukannya untuk menghukum para prajurit yang melanggar hukum. Saat saya tiba di penjara militer pada sore hari ketika ustad al Hudhaibi dan enam saudaranya dijatuhi hukuman mati, Yusuf al Qaradhawi tidak dapat bertemu dengan mereka atau bahkan melihat dari jauh, tetapi banyak yang melihat mereka berbaris di depan penjara dalam langkah-langkah militer mengikuti melodi lagu Ummu Kulsum.
Ketika Yusuf al Qaradhawi memasuki pintu penjara militer, para prajurit penjara mengawasi kami dengan lebih panas daripada bara untuk menyambut kami dengan penghormatan yang pantas untuk orang-orang seperti kami dengan cambuk yang membakar punggung, cacian yang menusuk telinga, dan tingkah polah buruk yang menyakiti mata. Amukan panas dan gilingan berputar keras, bukan menggiling biji tetapi menggiling manusia di bawah batu gilingannya. Siksaan fisik dan penghinaan psikologis. Ini dimaksudkan untuk menelanjangi manusia dari nilai kemanusiaan.
Mendirikan Rabithah Alam Islami
Otoritas Saudi menyetujui hubungan antara Ikhwanul Muslimin dengan Kerajaan Arab Saudi waktu itu. Kasih sayang dan komunikasi itu di era Raja Faisal bin Abdul Azis al Saud yang menjadi penguasa saat itu. Tidak diragukan lagi bahwa semua orang yang berurusan dengannya memujinya sebagai pribadi yang murah hati, memiliki pemahaman, kesadaran, agama yang baik.
Pemerintah Raja Saud yang menanggapi Ikhwanul Muslimin untuk mendirikan Rabithah Alam Islami. Rekan-rekan Ikhwanl Muslimin terutama Sa’id Ramadhan, Kami Asy Syarif, Abdul Hakim Abidin meyakinkan para pejabat perlunya pendirian organisasi internasional ini dengan tujuan menguraikan modalitas dan mempresentasikan kepada para pejabat untuk kepedulian Islam pada umumnya. Kesadaran akan isu-isu utama bangsa dan sarana untuk memajukan dunia Islam dengan keterwakilan seperti Maulana Abu A’la Maududi dari Pakisan, Maulana Abul A‘la Hasan An Nadwi dari India, Dr. Mohammad Natsir dari Indonesia, Syaikh Muhammad Mahmud As Shawwaf dari Irak, Syaikh Husnain Makhluf dari Mesir, serta para ulama, pemikir, tokoh dakwah dan jihad lainnya.
Perjalanan hidup Yusuf al Qaradhawi seperti tertulis tak lekang bersama para tokoh dakwah internasional dan fatwa-fatwa selalu ditunggu umat. Mereka terus merajut silaturrahim dan saling belajar serta menyampaikan fatwa sebagai tuntunan kepada umat. Ia menyertai dengan keilmuan, dakwah dan jihad hingga akhir hayatnya.
Menurut Dr. Zaghul An Najjar, Yusuf al Qaradhawi tokoh muslim yang memiliki ciri khas, mengedepankan kelembutan dan adab. Allah menganugerhkan kepadanya ingatan dan hafalan yang kuat, kecerdasan alami dan firasat Rabbani, ia teladan dalam berfatwa, itu semua telah mengantarkannya menjadi dai dan ahli fikih berkelas tanpa ada perdebatan. Bahkan menurut Dr Ali Muhammad Ash Shallabi, pakar sejarah Islam, Yusuf al Qaradhawi dai yang mempertemukan ilmu dan realitas, pemilik pilihan kata tepat yang dengan itu nilai-nilai kebaikan bisa merasuk ke dalam hati-hati jutaan manusia di dunia.* Akbar Muzakki