Hidayatullah.com—Pemerintah Kolombia dan Revolutionary Armed Forces of Colombia (FARC) akhirnya menandatangani kesepakatan gencatan senjata, yang isinya termasuk peletakan senjata oleh kelompok pemberontak itu yang telah mengokang senjata selama lebih 50 tahun terakhir.
Para perunding menandatangani kesepakatan gencatan senjata itu pada hari Kamis (23/6/2016) di Havana, dengan dihadiri oleh Presiden Juan Manuel Santos dan Komandan FARC Rodrigo “Timochenko” Londono.
Momen bersejarah itu juga dihadiri oleh Sekjen PBB Ban Ki-moon, Presiden Kuba sebagai tuan rumah, serta presiden negara Venezuela, Chile dan Menlu Norwegia.
Kesepakatan itu merupakan tahap akhir dari negosiasi alot yang digelar sejak 2012.
Perang sipil di Kolombia selama puluhan tahun itu telah mengakibatkan lebih dari 220.000 orang tewas dan jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal.
“Kolombia menjadi terbiasa dengan konflik. Kami bahkan tidak memiliki kenangan sedikit pun seperti apa hidup dalam kedamaian itu,” kata Santos di Havana. “Hari ini bab baru dibuka, yang membawa kembali perdamaian dan memberikan kemungkinan kepada anak-anak kita untuk keluar dari sejarah yang kelam.”
Sebelumnya Santos mengatakan bahwa penandatanganan kesepakatan akhir mungkin akan dilakukan pada 20 Juli, bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan Kolombia dari Spanyol. Namun, penandatangan hari Kamis kemarin itu adalah langkah maju yang melampaui harapan.
Sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata, kedua pihak sepakat dilakukannya demobilisasi dan penyerahan senjata ke pihak pemantau dari PBB dalam waktu 6 bulan.
Selain itu, kesepakatan tersebut menjamin transisi FARC menjadi partai politik akan berjalan dengan aman.
Namun, kesepakatan Kolombia-FARC itu tidak menjamin negara itu akan menjadi aman. Pasalnya, geng-geng narkoba dan kriminal terorganisir masih beroperasi hingga ke daerah terpencil di seluruh penjuru negeri. Selain itu, pendukung bekas presiden Alvaro Uribe yang sangat populer tidak menyetujui perdamaian pemerintah dengan FARC.
Meskipun demikian, para pemimpin regional dan internasional antusias dengan kesepakatan damai itu.
“Proses perdamaian ini tidak bisa balik mundur,” kata Presiden Kuba Raul Castro, yang negaranya menjadi salah satu penjamin perundingan.
Sementara itu Menlu Amerika Serikat John Kerry di Washington mengatakan “garis finish semakin dekat dan lebih dekat dari apa yang selama ini telah dicapai,” tetapi “kerja keras masih harus dituntaskan.”*