Hidayatullah.com– Barang-barang China yang diproduksi di wilayah Xinjiang mulai hari Selasa ini 21 Juni 2022 dilarang masuk Amerika Serikat.
Berdasarkan regulasi itu, perusahaan-perusahaan harus mengimpor barang dari daerah di China yang tidak menggunakan tenaga kerja paksa, lansir BBC.
Pejabat-pejabat AS mengatakan warga masyarakat minoritas Uyghur di Xinjiang, yang mayoritas Muslim, ditahan dan dipaksa menjadi buruh.
China senantiasa membantah tuduhan bahwa pihaknya menahan orang-orang Uyghur di kamp-kamp mirip penjara di Xinjiang.
Sejumlah barang yang diimpor dari daerah yang kaya sumber daya alam itu, termasuk kapas (kain katun) dan tomat, sudah dilarang masuk Amerika Serikat.
Berdasarkan Uyghur Forced Labor Prevention Act (UFLPA) yang mulai diberlakukan hari ini, larangan tersebut diperluas ke semua barang impor.
Dalam pernyataan pekan lalu, para anggota parlemen AS mengatakan bahwa UU tersebut mengirimkan pesan bahwa Amerika Serikat “tidak lagi terlibat dalam penggunaan tenaga kerja budak dan kejahatan mengerikan terhadap kemanusiaan oleh Partai Komunis Tiongkok”.
Menurut US Congress, China menahan lebih dari satu juta warga Uyghur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang sejak April 2017.
Diyakini puluhan ribu tahanan bekerja “dengan upah minimum atau tanpa kompensasi apa pun” di Xinjiang dan provinsi lain dengan kedok program pengentasan kemiskinan dan bantuan industri”.
Kongres AS juga mengatakan China juga “mengganggu audit dan upaya uji tuntas tradisional untuk memeriksa barang dan rantai pasokan di Xinjiang.”… termasuk dengan mengintimidasi calon saksi dan menyembunyikan informasi yang relevan”.
China membantah tuduhan penggunaan kerja paksa dan mengatakan kamp-kamp di Xinjiang adalah fasilitas “pendidikan ulang” yang digunakan untuk memerangi terorisme.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin baru-baru ini menyebut tuduhan kerja paksa itu sebagai “kebohongan tidak masuk akal yang dibuat-buat oleh kekuatan eksternal tertentu”.
Namun file dan laporan langsung yang bocor dari dalam kamp, yang diperoleh BBC, membeberkan sistem terorganisir pemerkosaan massal, pelecehan seksual dan penyiksaan terhadap etnis minoritas yang ditahan di dalam kamp.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia juga menuduh pemerintah China secara bertahap melucuti kebebasan beragama dan kebebasan lainnya dari Uyghur melalui pengawasan massal penahanan, indoktrinasi dan bahkan sterilisasi paksa.*