Hidayatullah.com– Anggota Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau, Julius Ibrani mengatakan, setiap proses penyusunan regulasi, apapun bentuknya, kalau membahas mengenai rokok pasti pembahasannya janggal dan substansinya aneh.
Ia mencontohkan, pada 1992, saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan, ada satu ayat yang menyatakan nikotin sebagai zat adiktif.
“Ini kalimat sangat dihindari industri rokok. Jangan sampai nikotin ini disebut sebagai zat adiktif. Sebab, kalau diketok sebagai zat adiktif. Maka sekeluarga yaitu narkotika, alkohol, dan tembakau (rokok) termasuk ke dalamnya,” jelas Julius.
Lantas, apa yang terjadi saat itu? Kata Julius, ayat itu hilang ketika dibacakan dalam rapat paripurna. Padahal, ketika pembahasan RUU Kesehatan kalimat itu jelas-jelas ada.
“Untung di dalam bagian penjelasan (ayat)nya masih ada,” ujarnya tersenyum.
Baca: 3 Poin Mencengangkan Hasil Rapat Direksi Industri Rokok Raksasa 1995
Berikutnya, masih kata Julius, tahun 2006 dan 2008 juga terjadi kejanggalan.”Bayangin, lebih dari 200 orang atau sepertiga anggota DPR mengusulkan RUU tentang Pengendalian Tembakau. Tapi, dicuekin sama Ketua Baleg dan Ketua DPR-nya sendiri.”
Padahal, UUD 1945 sudah memberikan mandat dan bahkan PBB menyatakan bahwa Indonesia sedang darurat rokok waktu itu. Sementara, RUU lain yang pengusulnya tidak pernah sampai mencapai 200 orang anggota DPR, justru selalu ditanggapi untuk dilakukan pembahasan.
Pada 2009, saat parlemen merancang Revisi UU Kesehatan tahun 1992, kata Julius, ada lagi kalimat yang hilang. Yaitu, tembakau mengandung zat adiktif. Kejadian juga sama pada tahun sebelumnya.
“Ratusan anggota DPR waktu itu langsung bertanya. Kalimat dalam ayat ini kenapa bisa hilang? Saat ditelusuri, terungkap bahwa ada seorang anggota DPR yang bermain di situ. Akhirnya, ia dinyatakan melanggar kode etik. Ayatnya pun dikembalikan lagi,” ungkapnya.
Baca: Penghilangan “Ayat Tembakau” Adalah Tindakan Preman Jalanan
Masih pada tahun yang sama (2009), Julius melanjutkan, RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan (PDPTK) dimasukkan dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) tahun 2011, dengan nomor urut 27.
Tapi, periode 2010 sampai 2011, setelah anggota DPR melakukan Kunjungan Kerja (Kunker), RUU PDPTK tersebut diendapkan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Akhirnya, 2012, Sidang Paripurna DPR menetapkan RUU Pertembakauan sebagai pengganti RUU PDPTK,” kata Julius pada acara Pelatihan Peliputan tentang Pengendalian Tembakau 2017 yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta di Bogor, Jawa Barat, akhir pekan kemarin.
Baca: Industri Rokok Dituding Dalangi Hilangnya Ayat Tembakau
Kemudian, tahun berikutnya (2013-2014) RUU Pertembakauan dipaksakan untuk masuk Prolegnas. Tapi, ada penolakan dari anggota DPR dan pihak Kemenkes RI.
Tahun 2015-2016, tiba-tiba kalimat ‘Kretek sebagai Warisan Budaya’ (RUU Kebudayaan) dan ‘Industri Hasil Tembakau’ (Permenperin No 63/2015) masuk dalam RUU Pertembakauan.*