Hidayatullah.com — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR, Selasa (12/4/2022).
Sebelumnya, dalam pembahasan tingkat pertama, 8 dari 9 fraksi di DPR setuju agar RUU TPKS disahkan, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolaknya.
“Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?,” kata Ketua DPR selaku pimpinan rapat
“Setuju,” jawab peserta rapat diikuti ketukan palu sidang sebagai tanda persetujuan.
Sesaat setelah palu diketuk, para anggota dewan dan beberapa perwakilan masyarakat pun bertepuk tangan di ruang rapat paripurna.
Dalam laporannya, Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya mengklaim, RUU ini merupakan aturan yang berpihak kepada korban serta memberikan payung hukum bagi aparat penegak hukum yang selama ini belum ada untuk menangani kasus kekerasan seksual.
“Ini adalah kehadiran negara, bagaimana memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual yang selama ini kita sebut dalam fenomena gunung es,” kata Willy.
Menurut Willy, pengesahan RUU TPKS merupakan hadiah menjelang peringatan Hari Kartini, sosok yang selama ini dikenal sebagai pejuang emansipasi perempuan.
Sebelumnya, beberapa elemen masyarakat, termasuk Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, kukuh menyuarakan penolakan terhadap RUU TPKS. AILA dalam pernyataannya yang diterima oleh Hidayatullah.com, Senin (11/4/2022), mengungkap pandangannya tentang RUU TPKS yang berbahaya.
“Apabila RUU TPKS disahkan menjadi undang-undang, maka hal tersebut akan sangat berbahaya. Karena, masyarakat Indonesia diarahkan untuk menerima paradigma sexual consent yang secara implisit ada dalam RUU ini, yang justru bertentangan dengan UUD 1945,” ungkap AILA.
AILA mengkritik paradigma sexual consent yang digunakan dalam RUU TPKS. Lembaga tersebut menyebut sexual consent merupakan konsepsi yang bias dan ambigu, serta mengabaikan nilai-nilai agama dan sosial.
“Sexual consent menganggap hubungan seksual yang amoral sekalipun, sepanjang dilakukan dengan persetujuan, merupakan domain pribadi sehingga negara tidak boleh intervensi mengatur hubungan seksual semacam itu. Paradigma tersebut sangat kontradiktif dengan Pancasila sebagai landasan ideologi Bangsa dan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi negara,” ungkap AILA.*