TIDAK hanya warga Eropa yang bergabung dengan ISIS di Iraq dan Suriah, tetapi juga terdapat warga Eropa yang bergabung dengan kelompok milisi untuk melindungi komunitas Kristen di wilayah tersebut. Setidaknya 30 orang Kristen Eropa telah pergi ke Iraq dan Suriah untuk melawan ISIS, menurut laporan oleh lembaga internasional.
Menurut Agenfor Italia, LSM berbasis di Italia yang mendukung proyek kerja Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, mengatakan, jumlah pejuang Kristen Eropa yang secara sukarela melawan kelompok pemberontak di Timur Tengah meningkat dari hari ke hari.
Laporan ini juga menunjukkan, Judi Mikhael — seorang mantan polisi Belanda– secara sukarela bergabung dalam milisi Syriac dan meninggal pada tahun 2001 di Iraq.
“Judi berada di Iraq untuk melatih orang-orang Kristen lokal melakukan pertempuran dan secara sukarela berangkat dari Belanda bersama-sama dengan teman-teman lain dari Swiss, Jerman, dan Swedia. Organisasi Syriac di Eropa menyebut Judi seorang ‘martir’.
Seorang mantan sersan di Angkatan Darat Swiss, Johan Cosar, sekarang menjadi pelatih militer untuk “Sutoro” –pasukan sukarela Kristen Suriah, Assyrian, menurut laporan dan media Swiss.
Cosar, relawan Kristen 31 tahun dari Locarno di Swiss, menyatakan bahwa ia melayani di bawah Unit Pertahanan Bersenjata Rakyat Suriah Kurdi (YPG) yang telah aktif sejak tahun 2011. Dia mengatakan, “siap mati untuk negaranya” dan terus melindungi komunitas Kristen di wilayah konflik.
Sumbangan minimal 165.000 euro (sekitar Rp 2,5 miliar) telah dikumpulkan dari Swiss dalam dua tahun terakhir, kata media Swiss. Koran berbasis Austria, Krone, menyebutkan lebih dari seribu orang Kristen masih melawan ISIS.
Direktur Agenfor Italia dan ahli Timur Tengah, Sergio Bianchi, percaya bahwa itu bukan keputusan yang mudah bagi warga Eropa untuk pergi ke Timur Tengah dan bergabung dengan kelompok ekstrimis.
“Orang-orang ini percaya bahwa komunitas mereka berada di bawah ancaman dan ini adalah kekuatan pendorong utama untuk memerangi ISIS,” kata Bianchi.
Upaya Menghentikan
Uni Eropa telah meningkatkan upaya untuk mencegah semakin banyak orang meninggalkan Eropa untuk berperang di Suriah dan Iraq.
Menteri Dalam Negeri dari delapan negara Uni Eropa, di bawah kepemimpinan Belgia, telah bertemu enam kali dan menyiapkan rencana empat aksi untuk memblokir pejuang asing mencapai Suriah dan Iraq. Pertemuan para menteri Uni Eropa, dengan Turki dan negara-negara regional lainnya juga diundang, telah diadakan di Italia.
Belgia, Italia, Prancis, Jerman, Inggris, Spanyol, Belanda, Swedia, dan Polandia, telah menyetujui langkah-langkah seperti pencegahan, identifikasi, pengawasan tempat wisata, sanksi pidana, dan kerjasama dengan negara-negara ketiga.
Negara-negara itu telah menyatakan komitmen untuk mengintensifkan pertukaran informasi dan intelijen dengan negara-negara lain, mentransfer data ke Sistem Informasi Schengen (SIS) dan badan polisi Uni Eropa, Europol, serta aksi bersama dalam kasus dugaan.
Delapan negara Uni Eropa, yang memutuskan untuk membawa topik dalam agenda Uni Eropa, sepakat membentuk tim komunikasi strategis, menciptakan aplikasi catatan nama penumpang dari Uni Eropa (EU PNR), dan bekerja sama dengan penyedia layanan untuk pengawasan yang lebih efektif dari Internet, yang dipandang sebagai elemen aktif dalam perekrutan tempur.
Menteri Dalam Negeri Uni Eropa diharapkan menyetujui langkah-langkah ini pada pertemuan di bulan Oktober.
Cecilia Malmstrom, yang menjabat Komisaris Eropa untuk Urusan Dalam Negeri di Komisi Barroso, mengatakan, kantornya tidak akan mempersiapkan peraturan tentang siapa yang akan pergi ke medan perang atau penyitaan paspor. Ia mempertahankan bahwa masalah ini berada di bawah otoritas negara anggota Uni Eropa.
Di samping proposal Komisi Uni Eropa, negara-negara anggota juga mengkaji strategi mereka melawan radikalisasi dan perekrutan. Dalam konteks ini, mereka memutuskan untuk membuat pusat informasi dan meningkatkan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan IT untuk memerangi radikalisasi melalui Internet.
Pencegahan pejuang asing di Suriah merupakan salah satu agenda utama dalam pertemuan antara Uni Eropa dan para pejabat Turki. Pada tanggal 23 Juni lalu dalam pertemuan Dewan Asosiasi Uni Eropa dan Turki ke-52 yang diadakan di Luxemburg, para pejabat diminta meningkatan kerjasama mengenai “pejuang asing”.
Mantan Menteri Dalam Negeri Belgia, Joelle Milquet, yang mengatur pertemuan Uni Eropa untuk membahas pejuang asing, telah berulang kali menekankan bahwa blok 28-anggota UE memiliki hubungan yang sangat efisien dengan Turki tentang masalah ini.
Dalam pembahasan proposal, yang Uni Eropa menyambut baik dialog aktif dengan Turki terhadap pejuang asing, mengatakan, kerjasama yang ada akan lebih diperkuat dengan Turki untuk meloloskan undang-undang yang terkait anti-terorisme.*/Bagian pertama dan tulisan ini dikutip dari laman World Bulletin, Senin (8/9/2014) [Tulisan berikutnya].