Sambungan artikel PERTAMA
Saya kemudian masuk ke dalam. Tangan saya mengusap tembok batu bertesktur kasar itu. Beberapa ruangan berukuran sekitar 7 x 4 meter memanjang, ada yang besar serta dilengkapi dengan tungku perapian. Ada juga yang loss panjang. Tepat di tengah, ada pintu yang persis membelah ruangan besar itu. Sementara di kiri dan kanannya terletak ruangan kotak-kotak tadi, begitu juga di ujungnya.
Di langit-langitnya, ujung-ujung lengkung khas arsitektur Islam tergambar jelas. Dan di sebelah bangsal paling besar ada air mancur. Air mancur sebenarnya adalah temuan arsitektur muslim paling tua, karena itu jangan heran jika di masjid-masjid besar di Turki, Anda akan dengan mudah mendapati air mancur yang bersatu dengan tempat wudhu. Bahkan di Fes Maroko, sebuah kota kecil di lembah Fes, Anda akan tercengang, karena pada abab 9, tercatat 4000, ya empat ribu air mancur memperindah kota itu.
Bangunan yang saya lihat ini ternyata hanya sebagian saja, karena ternyata aslinya lebih besar, namun sudah runtuh. Caravansaray biasanya selalu ada ruang terbuka di tengah atau di pinggir bangunan untuk parkir kuda atau unta. Kinipun, selain menjadi wisata sejarah. Bangunan di set up untuk tempat duduk-duduk, sambil istirahat. Kini beberapa losnya sudah diberi kursi, tapi tetap saja fungsinya sama.
Melihat indah dan megahnya, saya terduduk, dengkul saya lemes, dan tidak meyangka, begitu luar biasanya. Tetapi dalam hati banyak pertanyaan berkecamuk. Mengapa harus gratis dan kenapa sedemikian megah, tempat untuk istirahat? Padahal bangunan yang saya lihat ini adalah ‘bagian yang tertinggal’ dan yang masih ada, aslinya tentu besar sekali. Dan mengapa ini begitu kuat dan kokoh, karena ini juga digunakan berlindung saat musim dingin, karena itu di beberapa sudut masih terlihat perapian, yang saat ini hanya menjadi ornamen semata.

Pulang dari Turki, saya mencari jawaban. Dan ternyata saya jauh ketinggalan informasi, karena selama ini tidak mengkaji siroh (sejarah Islam). Yang saya lihat hanyalah bagian kecil dari kebesaran Islam. Pada abad ke delapan, tren sudah terjadi penyiapan hotel, guest house dan rest area gratis. Pada masa pemerintahan Ummayah, di kota Aspahan, Iran (saat masih Sunni) saja, ada sekitar 1.600 hotel dan rest area gratis. Sedangkan di Almeria (spanyol) ada 970 hotel dan rest area yang bertebaran di kota itu. Gratis dan untuk publik.
Rupanya tradisi menyiapkan penginapan ini berawal dari perintah Quran untuk memuliakan tamu, pedagang, musafir dalam bahasa Islam disebut Ibnu Sabil dan para pencari ilmu seringkali datang ke Cordoba dan Andalusia sebagai pusat peradaban saat itu. Maka pemerintah merasa perlu menfasilitasi mereka. Karena itulah pemerintahan muslim di Maroko, Persia dan Andalusia sudah membangun rest area dan hotel-hotel gratis bagi para musafir ini.
Ibnu sabil adalah tamu atau musafir yang melintas melewati tempat kita. Apabila si musafir kehabisan bekal dalam perjalannya, berbuat baik kepadanya dilakukan dengan memberinya zakat atau sedekah yang cukup untuk menyampaikannya ke tujuan, walaupun dia adalah orang yang berharta di negeri tempat tinggalnya.
Belakangan, langkah pemerintah ini diikuti oleh orang-orang kaya zaman itu, yang me-wakafkan hartanya untuk memuliakan para musafir ini.

Apakah mereka hanya diizinkan menginap gratis saja? Ternyata tidak, pemerintah dan orang-orang kaya itu juga menyiapkan chef nomor satu, untuk para penginap gratis ini, layaknya tamu kehormatan. “Setiap hari mereka mendapatkan satu kilogram roti premium, 250 gram daging serta satu nampan makanan lain yang berisi makanan kecil,” kata Asep Sobari, Ketua Siroh Community Indonesia (SCI).
Mengapa sampai bisa begitu? Menurut Asep, ini karena gaya hidup dan pemenuhan kebutuhan muslim kala itu sudah sangat mapan. Sehingga mereka kemudian berlomba untuk berbagi dan mejalankan pemerintah agamanya. Pemerintah benar-benar menjadi pelayan masyarakat.
Belakangan, di barat lahir Abraham Maslow (1908-1970) yang teori Teori hierarki. Ia beranggapan bahwa kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi.
“Saat itu karena saking makmurnya, maka semua muslim yang mampu membantu. Dan pemerintah menjadi pionernya. Sedang barat masa itu masih dalam masa gelap-gelapnya.”
Dari tahun kelahiran Maslow, kita bisa mengukur, betapa Islam sudah jauh dan lama mencapai kejayaanya. Dr Sigrid Hunke, penulis Jerman yang lama tinggal di Maroko menjelaskan bagaimana dunia Islam banyak mempengaruhi dunia barat sampai saat ini. Hunke memberi judul bukunya; “Allahs Sonne Uber dem Abendland; unser Arabiches Erbe” telah diterjemahkan dalam 17 bahasa, diantaranya berjudul, “Allah’s Sun Over the Occident.”
Sekarang, masih banyak diantara kita yang tidak bangga dengan kebudayaan Islam, bahkan malu mengusung budaya Islam. Padahal Barat (Amerika) masih berusia 240 tahun. Masih jauh bila dibanding dengan Usmaniyah (saja), belum lagi masa Rasulullah.
Lain waktu saya akan bercerita tentang bagaiman kaum muslim di Cordoba menemukan tata cara (manner) makan yang dibagi menjadi makanan pembukan (appetizer), makanan utama (main course) dan makanan penutup (dessert). Mari memulai belajar Siroh!*/Lutfi Subagyo