“ARABIC!” demikian pinta Yakhiya Kurban saat hidayatullah.com ingin mewawancarainya dalam bahasa Inggris.
Yakhiya adalah pria asal Kazakhstan, salah satu kontestan Musabaqah Hifzil Quran dan Hadits (MHQH) se-Asia Pasifik ke-5 di Jakarta semenjak tanggal 11-12 Februari 2014.
Remaja berkulit putih bersih dengan mata sipit itu merupakan satu-satunya perwakilan dari Kazakhstan.
Yakhiya adalah cerminan umat muslim negeri itu dengan semangat belajar tinggi.
Di usinya ke 15 tahun, Ia sudah khatam menghapal al-Quran. Karena itulah Ia berani mengambil kesempatan lomba hapalan 30 Juz di kompetisi yang sepenuhnya disponsori oleh Pangeran Arab Saudi, Sultan bin AbdulAziz ini.
Walaupun Memiliki ayah dan Ibu asli Kazakhstan, Yakhiya terlahir di Mesir. Bahkan hampir selama hidupnya, ia menetap disana. Hanya setahun sekali ketika Ramadhan tiba, pria yang terlihat dewasa itu, pulang ke negeri pecahan Uni Soviet itu. Karena itu ia sangat fasih berbahasa Arab.
“Abi dan Ummi ada di Kazakhstan. Kami sekeluarga sempat tinggal bersama di Mesir, tapi setelah Abi menyelesaikan doktor, mereka tinggal Alma Ata,”ulas pelajar di Al Ghada al Masriq, Nasr City, Mesir itu.
Alma Ata yang dimaksudkannya adalah Almaty, sebuah kota di Kazakhstan yang pernah menjadi Ibukota sebelum Astana.
Yakhiya sudah menghafal Quran sejak usia 8 tahun. Hapalan Quran 30 juz dicapainya pada usia 10 tahun. Walaupun mengaku hafalan itu sempat hilang beberapa tahun karena tidak diulangi (murajaah), namun kini Ia mampu mengingatnya kembali.
Karena itulah anak pertama dari enam bersaudara itu maju sebagai perwakilan tanah airnya.
“Ini adalah kejuaraan dan juga perjalanan pertama saya keluar negeri selain pulang ke Kazakhstan. Tentu saya grogi,” tuturnya dengan wajah kemerahan saat terik matahari menimpanya. Ketika namanya dipanggil oleh Syeikh penguji MHQH, wajah Yakhiya tegang.
Berkali-kali sempat tersendat melanjutkan potongan ayat yang diberikan para Syeikh asal Madinah, Arab Saudi.
Islam dan Sekulerisme
Kazakhstan menjadi satu-satunya negara di Asia Tengah yang konstitusinya tidak memberikan perlakuan khusus bagi agama Islam. Sejak konstitusi 1995 menetapkan asas negara sekuler, pertumbuhan Islam melambat. Hal ini tak lepas dari pertimbangan domestik dan kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Nursultan Nazarbayev. Menyusul ditetapkannya konstitusi bahwa negeri terluas ke-2 setelah Rusia di Eropa ini adalah negara sekuler, pertumbuhan komunitas Islam mengalami penurunan.
Ayah Yakhiya menyadari kondisi tersebut. Ia berpikir, akan lebih baik jika keenam anaknya bersekolah di Mesir, negara penghasil para pemikir Islam dunia.
Menurut Yakhiya, sampai sekarang, di Kazakhstan, hanya ada empat sekolah yang mengadakan pembinaan hafalan Quran.
Kondisi ini dimaklumi mengingat saat pengaruh komunis Soviet bercokol di sana, aktivitas keagamaan benar-benar dibatasi. Institusi Islam banyak yang ditutup.
Bahkan banyak diberitakan, walaupun sudah lepas dari cengkraman komunis, Presiden Nursultan membatasi pergerakan Islam supaya tidak mengarah pada fanatisme beragama.
Di tengah kondisi tersebut, perkembangan Islam terus berhembus di negara penghasil Uranium terbesar di dunia itu. Para peraih gelar doktor yang berada di luar negeri, banyak ditarik pulang.
“Termasuk Abi yang kini mengajar di Nur-Mubarak Egyptian of Islamic Culture di sana,”imbuhnya tentang pekerjaan ayahnya yang kini sebagai dosen Ilmu Fikih di Almaty.
Di tengah situasi negerinya yang masih kurang mendukung kegiatan Islam, Yakhiya terus bersemangan memburu ilmu meski ribuan mil jaraknya. Baginya, menuntut ilmu adalah jalan panjang yang mengasyikkan, apalagi berinteraksi dengan para ulama dan masyayyikh.
“Di asrama, saya juga belajar bersama anak-anak Kazakhstan lainnya,”ulas pria yang selalu berbicara seperlunya itu.
Sehari-hari, Yakhiya menghapal Quran pagi dan sore. Ia berharap suatu saat bisa kembali ke Kazakhstan dan membangun peradaban Islam di sana. Bravo, Yakhiya!*