Hidayatullah.com—Undang-undang di Prancis yang melarang wanita mengenakan cadar di tempat publik bukanlah peraturan diskriminatif, demikian keputusan Mahkamah Hak-Hak Asasi Manusia Eropa Selasa (1/7/2014) menyebutkan.
Keputusan Mahkamah HAM Eropa itu merupakan jawaban atas gugatan seorang wanita berusia 24 tahun warga Prancis keturunan Pakistan, yang menilai undang-undang itu melanggar haknya sebagai warga negara untuk secara bebas menjalankan agamanya, bebas berekspresi dan berserikat, serta peraturan itu dinilainya diskriminatif.
Wanita itu yang tidak hadir dalam sidang pembacaan vonis dan hanya disebutkan dengan inisial SAS, dalam pernyataannya bersaksi bahwa dirinya tidak dipaksa mengenakan cadar (burqa) dan bersedia melepasnya apabila diminta untuk keperluan pemeriksaan keamanan.
Gugatan SAS itu didukung oleh Amnesty International, yang sebelum keputusan dibacakan kepada France24 mengatakan bahwa undang-undang Prancis itu menstigmatisasi perempuan, dan Muslimah pada khususnya.
“Argumen yang mengatakan undang-undang itu melindungi perempuan tidaklah memiliki dasar,” kata Presiden Amnesty International Genevieve Garrigos. “Banyak wanita Muslim yang mengenakan cadar dengan keinginan mereka sendiri.”
“Negara tidak bisa mengatur orang bagaimana mereka seharusnya berpakaian. Justru negara harus membiarkan mereka menentukan pilihannya sendiri.”
Menurut Garrigos, undang-undang yang kelihatannya seakan menarget semua bentuk penutup wajah –baik yang relijius atau tidak– hanyalah fasad dari peraturan yang sebenarnya secara khusus menarget wanita Muslim.
“Semua orang tahu bahwa undang-undang itu bukan dibuat untuk melarang orang berjalan di jalanan dengan mengenakan helm sepeda motor,” kata Garrigos. “Jika setiap orang harus dikenali oleh pihak keamanan sepanjang waktu, mereka seharusnya melarang apa saja yang menyembunyikan tampilan wajah, termasuk rambut palsu (wig) dan jenggot palsu.”
Lebih lanjut Garrigos mengatakan, “Orang harus menerima jika mereka kemungkinan diperiksa identitasnya oleh polisi. Wanita-wanita pengguna burqa dan penutup wajah lainnya mematuhi hal itu dengan sukarela.”
Keputusan Mahkamah HAM Eropa tersebut dikeluarkan hanya beberapa hari setelah salah satu pengadilan tinggi di Prancis menguatkan keputusan tahun 2008 yang memecat Fatima Afif, seorang pekerja di sebuah taman kanak-kanak di pinggiran Paris yang ingin mengenakan kerudung saat bekerja.
Selain melarang cadar, Prancis –negara yang secara umum penduduknya kelihatan sekuler meskipun sebagian besar menganut ajaran Kristen Katolik– juga melarang penampakan simbol agama di sekolah-sekolah negeri.*