Hidayatullah.com– Pertemuan Tahunan IMF-Word Bank (WB/Bank Dunia) telah resmi ditutup pada hari Ahad, 14 Oktober 2018. Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra yang juga Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, memberi catatan kritis terhadap hasil pertemuan di Bali yang telah menghabiskan anggaran mahal tersebut.
“Dari awal saya menilai pertemuan itu tak banyak manfaatnya bagi perekonomian kita,” ujarnya dalam rilisnya diterima hidayatullah.com, Senin (15/10/2018).
Mengutip pemberitaan pada salah satu majalah nasional, Fadli menyebut pemerintah mengalokasikan Rp 2 triliun untuk menambah lahan parkir pesawat VIP di Bandara Ngurah Rai, Bali, untuk acara IMF dan World Bank kemarin.
“Itu, kan, proyek mubazir, karena utilisasinya pasca-acara sangatlah kecil,” kritiknya.
“Kenapa pesawat-pesawat pribadi milik tamu kemarin tak diparkir di bandara terdekat lain? Sebab, pada saat bersamaan anggaran APBN tahun 2018 untuk Badan Informasi Geospasial yang memelihara tide sensor, serta BMKG yang memelihara tsunami sensor, masing-masing kurang dari Rp1 triliun. Itu menunjukkan di tengah anggaran negara yang terbatas, pemerintah sebenarnya telah gagal menempatkan skala prioritas.”
Dari sisi manfaat, Fadli tak melihat acara kemarin itu punya efek positif bagi perekonomian Indonesia.
“Apakah sesudah pertemuan kemarin depresiasi rupiah jadi tertahan? Kan, tidak. Rupiah tetap melemah. Jangan lupa, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, nilai tukar rupiah telah mencapai level terendah dalam dua puluh tahun terakhir,” ungkapnya.
Sebagai tuan rumah, kata dia Indonesia juga tak bisa mengajukan resolusi yang menguntungkan atas situasi ekonomi global saat ini. Pidato Presiden Joko Widodo kemarin, yang menyatakan, “Kami bergantung pada Bapak/Ibu semuanya, para pembuat kebijakan moneter dan fiskal dunia untuk menjaga komitmen kerja sama global,” sama sekali tak menunjukkan wibawa.
“Sebagai tuan rumah, Indonesia mestinya bisa menyampaikan masukan yang signifikan ataupun kritik yang berarti terhadap IMF,” ujar Fadli.
Sebagai pemimpin yang memikul kepentingan negara berkembang, pidato Presiden dinilai terlalu asyik dengan metafor dan deskripsi, namun gagal menyampaikan resolusi.
Baca: IMF-WB Memuji-muji Indonesia yang Dipinjami USD 1 Miliar
Sebagai tuan rumah, Indonesia dinilai mestinya aktif menggalang dukungan agar negara-negara yang kepentingannya serupa dengan Indonesia bisa menyampaikan pandangan yang senada di forum tahunan tersebut. “Sehingga pidato Presiden tak jatuh jadi memelas sebagaimana diwakili pernyataan tadi.”
Menurut Fadli, Presiden mengambil analogi ‘Games of Thrones’ hanya untuk mengambil simpati pemilih muda di tanah air saja, tapi apakah analogi itu tepat disampaikan di hadapan pemimpin-pemimpin dunia, “menurut saya kok sepertinya tidak.”
Metafor itu dinilai tak akan mengesankan mereka, paling hanya akan diingat sebagai anekdot saja. “Jika Presiden sendiri menunjukkan lemahnya ekonomi Indonesia di tengah tantangan ekonomi global saat ini, lalu apa yang patut diapresiasi dari pidato tersebut?”
Setidaknya, ada dua hal kenapa Fadli menilai pidato Jokowi kemarin hanya bersifat lip service (layanan bibir), tak punya substansi penting bagi bangsa Indonesia di hadapan IMF.
Baca: “Aksi Mengkritisi IMF-WB Jangan Dianggap Ancaman oleh Pemerintah”
Pertama, jelasnya, pidato tersebut justru menyiratkan kecemasan Indonesia terhadap situasi ekonomi politik global. Sikap ini sangat kontradiktif dengan klaim pemerintah sehari-hari bahwa situasi saat ini sedang baik-baik saja. Defisit transaksi berjalan yang terjadi terus-menerus dianggap baik-baik saja, depresiasi rupiah yang mencatat rekor terendah sejak Reformasi juga dianggap biasa-biasa saja. “Pendek kata pemerintah menyangkal semua masalah ekonomi yang kita hadapi saat ini.”
Anehnya, menurut Fadli, meski kepada publik dalam negeri pemerintah selalu menyangkal masalah-masalah yang sedang dihadapi, di depan forum internasional Presiden justru memelas-melas atas situasi saat ini. Semua itu menunjukkan klaim pemerintah atas situasi saat ini memang tidak kredibel.
“Sejak rupiah menembus angka Rp 14.000 per US dolar, kami sudah mengingatkan agar pemerintah menghentikan drama rupiah baik-baik saja. Kebobrokan ekonomi jangan ditutup-tutupi, dan masalah-masalah yang riil ada jangan disangkal. Sekarang, ketika rupiah semakin terpuruk dan tak dapat ditutup-tutupi lagi, pemerintah justru mengeluhkannya kepada IMF. Ironis!”
Baca: IMF Puji Indonesia, INDEF: Faktanya Ekonomi Kita Mulai Terkejar Malaysia
Kedua, tambah Fadli, karena Indonesia tuan rumah, seharusnya kritik terhadap IMF yang pernah disampaikan Presiden Jokowi di hadapan negara-negara Asia-Afrika pada tahun 2015, pada momen peringatan 50 Tahun Konferensi Asia-Afrika, dapat disampaikan langsung dalam forum di Bali kemarin. Itu adalah kesempatan bagus sebenarnya.
“Sampaikan kritik terhadap IMF dan Bank Dunia di depan petingginya langsung. Sesudah kita menservis IMF dan Bank Dunia dengan pelayanan super istimewa, mengkritik mereka bukanlah sebuah tindakan kurang ajar. Itu justru akan menunjukkan jika kita punya wibawa, sekaligus menunjukkan jika kritik yang pernah dilontarkan Presiden pada tahun 2015 bukan hanya lip service untuk mendapatkan tepuk tangan saja.”
“Isu ketidakadilan global, ketimpangan, serta dominasi negara-negara besar dalam arsitektur keuangan global mestinya kembali disuarakan. Jika itu yang kemarin disampaikan, pidato Presiden patut kita apresiasi.”
“Lebih jauh, Presiden sebenarnya dapat memanfaatkan forum tersebut untuk mendorong agenda reformasi peran IMF dan Bank Dunia yang semakin tak relevan di era baru ini. Juga mendorong agar emerging markets diberikan porsi yang lebih luas dan strategis dalam organisasi IMF dan WB. Itu baru pidato berkelas,” pungkasnya.*