Ketika semua orang menyerahkan tenaga membantu pengungsi, ia memilih menghidupkan masjid, menjaga agar azan tetap berkumandang dan sholat berjamaah tetap didirikan
Hidayatullah.com | JUNDI (18) nampak sibuk mengurusi pengungsi Merapi. Beberapa hari ini, ia sejenak melupakan kegiatan sekolahnya dan ikut sibuk menjadi tim kemanusiaan membantu para pengungsi.
Jundi adalah santri SMA Hidayatullah Yogyakarta yang memilih bergabung dengan relawan Hidayatullah Peduli untuk musibah Gunung Merapi. Masjid Markazul Islam menjadi posko relawan setelah warga pesantren diharuskan ikutan mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Ketika Merapi meletus dahsyat pada Kamis (4/11/2010) tengah malam sampai Jumat (5/11/2010) dinihari, Jundi termasuk santri yang ikut membantu mengungsikan 150-an warga Pesantren yang berada pinggir sungai Boyong di Dusun Balong, Donoharjo, Ngaglik, Sleman.
Jarak udara pesantren ini dari titik puncak Merapi adalah 17 km. Hari Jumat, Badan Geologi menetapkan kawasan rawan bencana diperluas menjadi 20 kilometer dari puncak Merapi.
“Prioritas pengungsian pertama adalah bayi dan ibu-ibu. Ada 10 balita, 6 ibu, dan 7 anak usia SD yang diungsikan dengan 2 mobil milik pengurus pesantren yang sudah standby sejak Merapi meningkat aktivitasnya dan statusnya dinyatakan dalam kondisi Awas Merapi,” kata Jundi.
Berikutnya, sekitar 100 santri yang selama ini tinggal di asrama pesantren diangkut para pengasuh dengan transprtasi truk milik Basuki Jaya, seorang dermawan yang kerap membantu pondok pesantren.
Menolong agama Allah
Jundi dan para santri lainnya sejatinya adalah pengungsi dan korban Merapi. Meski kegiatan belajar-mengajar diliburkan sesuai arahan pemerintah, dia dan beberapa teman kelasnya telah memilih menjadi relawan.
“Bismillah. Meskipun mengungsi tapi kami sungguh tak ingin menjadi pengungsi. Kami ingin menjadi subyek, bukan obyek. Kami ingin jadi penolong. Kami ingin menjadi solusi dan bukan problem,” ujarnya kepada hidayatullah.com hari itu.
”Intansurullaha yansurkum (siapa yang menolong agama Allah, pasti Allah akan menolong kamu),” tegas Jundi kepada hidayatullah.com.
“Apalagi beredar info, banyak penjahat akidah yang berseliweran mencari mangsa,” tambah santri asal Cimais, Jawa Barat ini.
Hingga kini, situasi mencekam saat pengungsian warga pesantren masih terasa. Suara aliran Kali Boyong, yang berapa tepat di belakang Pondok Pesantren Hidayatullah telah mengalirkan lahar dingin dari puncak Merapi, berpadu dengan suara gemuruh gerakan magma dari dalam bumi.
Apalagi sejak sore, hujan air (berikutnya berubah menjadi hujan lumpur campur kerikil) dan gelegar guntur tak henti-hentinya berbunti di wilayah itu.
Sampai hari ini, jumlah pengungsi akibat letusan Gunung Merapi terus meningkat. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jumlah pengungsi Merapi sudah mencapai 283.000 orang di seluruh provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa (D.I) Yogyakarta. Pernyataan Presiden Yudhoyono disampaikan saat mengunjungi salah satu pusat penampungan pengungsi di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta, Ahad (07/11/2010), yang saat ini menampung sekitar 30.000 pengungsi.
Saat Presiden Yudhoyono berkunjung ke stadion yang jaraknya 25 kilometer dari puncak Gunung Merapi, gunung itu belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Asap hitam masih terlihat membubung ke udara.
Bunyi gemuruh dari perut gunung juga terdengar beberapa kali dalam sehari. Bila kondisi ini terus berlangsung, ada kemungkinan 283 ribu pengungsi di Jawa Tengah dan Yogyakarta akan bertahan di pusat-pusat pengungsian hingga beberapa pekan ke depan.
Sementara itu, perjalanan menuju tempat pengungisan juga tidak mudah karena ruwetnya lalu-lintas pengungsi dan jarak pandang yang sangat terbatas akibat pengaruh hujan lumpur.

Tak terhitung berapa kecelakan lalu lintas yang terjadi. “Penyeka kaca mobil menjadi tidak berfungsi. Kami harus berhenti setiap limapuluhan meter untuk mengelap kaca,” ujar Abu Abdurrahman, pengurus pesantren yang kebagian jatah mengangkut pengungsi balita dan ibu.
Akibat terbatasnya jarak pandang ini, balita dan para ibu terpaksa diungsikan ke gudang kertas milik Percetakan Mucommindo Jaya Cemerlang, di Desa Karangjati (radius 30 KM) dari puncak Gunung Merapi. Sementara para santri yang berusia SMP-SMA diungsikan ke kantor sekretariat Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Hidayatullah Yogyakarta di Tegalmojo, Sariharjo, Ngaglik, Sleman (radius 28 km).
Alhamdulillah, kedua tempat ini berdampingan dengan masjid dan mushola sehingga beberapa keperluan MCK termudahkan. Meski belakangan beberapa santri SMP dijemput orang tuanya untuk pulang ke daerah masing-masing, mayoritas santri SMA dan santri dewasa memilih bergabung dengan tim relawan kemanusiaan.
Menjaga azan berkumandang
Di antaranya santri bergabung dengan Tim Hidayatullah Peduli. Tim ini sudah terjun sejak pertama erupsi dan awan panas Merapi muncul yang telah menewaskan “legenda Merapi”, Mbah Maridjan.
Tim Relawan Hidayatullah Peduli didukung beberapa komponen, di antaranya Baitul Maal Hidayatullah (BMH), Tim Search And Rescue (SAR) dan Tim kesehatan dari Islamic Medical Service (IMS).
Saat ini, relawan Hidayatullah Peduli mengelola 7 posko; Posko Induk di jalan Monjali – Palagan Tentara Pelajar, 2 posko pengungsi warga di dekat lokasi pondok pesantren (di Karangjati dan Tegalmodjo), posko pengungsi di Stadion Maguwoharjo, posko pengungsi di Langenastran, posko pengungsi di Sasono Hinggil Dwi Abad Alun-alun Selatan Keraton Yogya, dan posko SAR-BMH di titik terdekat puncak Merapi, dan Masjid Markazul Islam Donoharjo.
Beberapa relawan dari BMH dan SAR Hidayatullah dari daerah lain juga mulai berdatangan dan bergabung memberikan dukungan tenaga. Di antaranya dari BMH-SAR Solo, BMH-SAR Jawa Timur, BMH-SAR Kudus, BMH-SAR Semarang dan BMH-SAR Jakarta.
Ketika semua orang menyerahkan tenaga dan pikiran untuk membantu para pengungsi, Jundi dan beberapa temannya lebih memilih menghidupkan masjid. “Kegiatan utama kami di posko ini adalah menjaga agar azan tetap berkumandang dan sholat berjamaah tetap didirikan,” ujar Jundi di Masjid Markazul Islam Yogyakarta.
“Berikutnya, barulah tugas menjadi anggota tim evakuasi dan mengamankan aset pondok pesantren karena sudah mulai banyak terjadi penjarahan, dan pencurian di beberapa rumah yang ditinggal para mengungsi,” tambahnya.*