USAI shalat maghrib dari masjid, saya kembali ke kantor Jeddah Dakwah Center. Tidak lama, masuklah ke ruang sekretariat seorang pemuda berkulit putih dan berambut pirang. Dia memperkenalkan diri dengan bahasa Arab yang fasih. “Nama saya Lukas Rothfuchs (24 tahun) berasal dari Jerman,” ujarnya.
Lukas baru dua hari sampai di Jeddah untuk kerja praktek selama lima bulan di sebuah perusahaan di Jeddah. Lukas kuliah mengambil jurusan ekonomi di Universitas Bremen, Jerman. Di Jeddah, ia tinggal sementara di hotel dekat kantor kami selama dua hari setelah itu akan pindah untuk tinggal di tempat yang disediakan oleh perusahaan.
Ia mengaku, suatu hari sedang berjalan-jalan di sekitar hotel dan tertarik melihat kantor Islamic Center. Ia berpikir mencari guru privat bagi dirinya untuk belajar tahfidz al-Quran. Lalu ia masuk dan menemui pengurus kantor. Dalam permbincangan, banyak kisah menarik tentang keislamannya.
Seperti diakuinya, kebanyakan masyarakat Eropa tidak memiliki agama. Meski KTP mereka beragama Kristen tapi mereka tidak percaya dengan agama mereka bahkan tidak sedikit dari masyarakat yang Atheis, termasuk keluarganya. Kebanyakan orangtua yang memiliki anak memasuki usia tiga belas tahun menyuruh anak-anak mereka ke gereja dan sekolah minggu. Di sana mereka diajar bernyanyi dan agama selama sepekan sekali, selama dua tahun. Setelah selesai dua tahun diadakan wisuda di gereja yang dihadiri oleh keluarga besar mereka.
Saat itu orangtua dan para kerabat memberi hadiah uang untuk anak—anak mereka dan keponakan mereka.
“Setiap anak bisa mendapatkan 2000 sampai 3000 Euro (sekitar 30 juta sampai 45 juta Rupiah),” ujar Lukas. Menurutnya, jumlah ini sangat besar bagi anak-anak usia 13 sampai 15 tahun.
Hampir 95 % tujuan anak-anak belajar sekolah minggu adalah untuk mendapatkan uang saat wisuda. Mereka belajar bukan karena cinta agama.
Menurut Lukas, agama di mata masyarakat di Eropa Barat tidak ada berwibawa. Mereka ragu dan tidak mempercayai agama mereka. Mereka juga mengetahui bagaimana sikap gereja dahulu yang anti terhadap ilmu pengetahuan. Mereka tidak mau didoktrin dengan sesuatu yang berlawanan dengan logika mereka. Wajar jika akhirnya masyarakat antipati terhadap semua agama dan menggeneralisir bahwa semua agama sumber perpecahan dan perselisihan. Lebih-lebih terhadap Islam, digambarkan oleh mass media bahwa Islam adalah agama yang radikal, orang muslim adalah pembunuh dan teroris.
Bahkan sebagian Orientalis mempelajari Islam tidak secara keseluruhan.
“Jika belajar secara keseluruhan, maka mereka tidak jujur,” ujarnya. Mereka membawa ayat al Quran secara sepotong-sepotong. Menyebutkan ayat-ayat jihad, bahwa Islam adalah agama kekerasan yang memerintahkan untuk membunuh orang-orang kafir.
“Mereka menyembunyikan mengapa jihad disyariatkan? Kapan Jihad diperintahkan? Siapa orang kafir yang diperintahkan untuk dibunuh dan siapa orang kafir yang diharamkan untuk dibunuh?.”
Meskipun demikian sebagian masyarakat yang sering pergi ke luar negeri khususnya ke negeri-negeri Islam meskipun untuk tujuan wisata dan rekreasi, mereka melihat bahwa Islam adalah agama yang baik. Mereka dapat membedakan antara Islam dan kesalahan oknum yang kebetulan mereka sebagai Muslim. Termasuk ayah saya dan keluarga saya, mereka tidak antipati terhadap Islam.”
Mencari Agama yang Haq
Di saat usianya mencapai 13 belas tahun, Lukas mulai berpikir dan bertanya kepada diri sendiri. “Mengapa saya berada di dunia?” “Apa tujuan hidup saya?” “Alam semesta dengan keteraturannya pasti memiliki pencipta. Kalau ada penciptanya pastilah pencipta memerintahkan dan melarang hamba-hambaNya dengan aturan-aturan agama,” demikian di antara segudang pertanyaan pada dirinya.
Mulailah sejak itu ia melakukan pencarian terhadap agama yang benar.
“Karena saya di lahirkan dari keluarga Kristen Protestan maka saya memulai mempelajari agama saya. Saya berangkat ikut sekolah minggu atas kesadaran saya sendiri. Saya tidak mendapatkan ketenangan batin, saya tidak puas,” tambahnya.
Lukas terkadang mendebat pendeta karena ada hal-hal yang tidak bisa diterimanya; seperti tentang Trinitas dan lainnya. Yang cukup mengagetkan, ia mendapati jawaban pendetanya, “Sebenarnya Injil yang ada di tangan kita sudah tidak asli lagi. Isi injil yang ada sekarang sekadar sebagai perumpamaan. Bahkan manusia sendiri berasalnya dari kera bukan dari Adam seperti yang kita baca di injil.”
Rupanya, doqma-dogma seperti ini tidak ia terima..*/bersambung….
Dikirim Fariq Gasim Anuz, Jeddah, Jumat, 4 Oktober 2013. Email: [email protected]